Macam-macam Sistem Pertanian
- Sistem pertanian sawah
Sistem sawah, merupakan teknik budidaya yang tinggi, terutama dalam pengolahan tanah dan pengelolaan air, sehingga tercapai stabilitas biologi yang tinggi, sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan. Ini dicapai dengan sistem pengairan yang sinambung dan drainase yang baik. Sistem sawah merupakan potensi besar untuk produksi pangan, baik padi maupun palawija. Di beberapa daerah, pertanian tebu dan tembakau menggunakan sistem sawah.
Pada sistem sawah, petani menggunakan sistem pengolahan tanah yang monokultur, karena sawah ini menggunakan irigasi teknis dan bukan merupakan sawah tadah hujan. Untuk pengairan, airnya cukup dengan sedikit tergenang, atau macak-macak. Hal ini untuk menanggulangi gulma. Jarak antar tanaman pun juga diatur.
Lahan sawah biasanya identik dengan sistem pengairan. Sistem pengairan di sini merupakan sesuatu yang sangat vital bagi kelangsungan sistem pertanian ini sendiri. Kebanyakan lahan sawah di sini menggunakan saluran irigasi teknis, sehingga keberadaan air masih sangat melimpah, dan air akan tetap ada meskipun pada musim kemarau. Berbeda halnya apabila dibandingkan dengan sawah yang menggunakan hujan sebagai sumber airnya. Sawah dengan saluran irigasi, baik teknis maupun setengah teknis biasanya terbentang dan tergolong sangat luas karena saluran irigasi dapat digunakan tidak hanya di satu tempat saja, sehingga dapat pula mengairi lahan lain yang masih termasuk dalam satu wilayah. Ini berarti, untuk pengelolaan sistem sawah ini memerlukan input dari luar, berupa air irigasi tadi. Selain itu, sawah seperti ini masih menggunakan pupuk kimia serta pestisida yang juga didatangkan dari luar. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pertanian sawah ini belum merupakan sistem pertanian yang terpadu, juga belum dapat dikatakan sebagai pertanian yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan proses produksi untuk menghasilkan output masih berorientasi pada hasil yang maksimum, bukan optimum.
Macam-macam sistem pertanian sawah:
- Sawah irigasi teknis
- Sawah irigasi setengah teknis
- Sawah irigasi sederhana
- Sawah irigasi pompa
- Sawah irigasi tadah hujan
- Sawah irigasi pasang surut
Material yang dimasukkan dalam upaya pembudidayaan lahan sawah yang pasti adalah pupuk. Namun pupuk yang digunakan dalam sawah ini bukanlah pupuk organik, melainkan pupuk kimiawi, seperti SP-36, KCl, Urea, dll. Selain itu juga adanya input berupa air yang berasal dari pengairan. Pada lahan sawah, biasanya pada waktu musim tanam menghabiskan waktu sekitar 4 bulan untuk padi, sehingga dalam waktu 1 tahun biasanya terbagi menjadi 3 kali musim tanam. Dalam pengelolaannya sawah ini diolah menggunakan traktor dengan menggunakan sumberdaya manusia, dalam hal ini pengelolaannya memerlukan banyak tenaga kerja mulai dari pengolahan tanah, penanaman, sampai dengan pemanenan.
Hasil yang ada dan dibawa keluar areal persawahan antara lain gabah dan jerami, yang biasanya digunakan untuk pakan ternak. Sementara padinya sendiri setelah diolah menjadi beras untuk kemudian dijual. Ada bermacam-macam cara yang umum dilakukan oleh petani di sawah dalam menangani jerami padi yaitu diangkut dari lahan untuk pakan ternak, dijual, dibakar, ditimbun di lahan usaha, disebar di permukaan tanah, dibenam dalam lapisan olah, atau digunakan kembali sesuai dengan keperluan untuk tanaman palawija.
Di beberapa pusat penghasil padi, penanganan jerami setelah panen adalah dibakar langsung di petak pertanaman. Ada beberapa alasan dilakukan pembakaran jerami, selain lebih praktis, abu bakaran langsung sebagai pupuk, atau dapat mengusir hama dan penyakit endemik. Tetapi, dampak negatif membakar limbah panen adalah menimbulkan pencemaran udara dan menghilangkan hara dalam jumlah yang cukup banyak, terutama yang bersifat mudah menguap.
Menimbun jerami di tepi petak sawah merupakan cara umum yang dilakukan petani di beberapa tempat. Keuntungannya adalah menghemat tenaga kerja, tapi kelemahannya adalah mengurangi luasan tanah yang dapat ditanami. Timbunan jerami juga merupakan sarang tikus.
- Sistem pertanian tegal
Input atau masukan yang diberikan antara lain pupuk. Tanaman di tegal ini diusahakan dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup petaninya. Oleh karena itu, agar hasilnya juga maksimal, maka tanah perlu dipupuk agar tanah tersebut terjaga kesuburannya. Jenis pupuk yang diperlukan adalah pupuk yang mengandung unsur N, P, dan K. Akan tetapi, kebutuhan tanaman tidak hanya N, P, ataupun K, namun juga unsur mikro. Jika unsur mikronya diambil lama-lama akan habis, maka tanah itu tidak akan produktif lagi. Maka dianjurkan untuk memakai pupuk organik agar kembali unsurnya, baik biologi maupun kimiawinya. Jika hanya menggunakan pupuk anorganik hanya menambah kesuburan kimianya saja. Keluaran atau output yang dihasilkan adalah selain hasil pertanian itu sendiri, batang tanaman jagung maupun daun-daunan itu diambil untuk pakan ternak. Dan tidak ada pemanfaatan sisa-sisa tanaman sebagai pupuk, karena hasil hanya diangkut keluar lahan dan tidak ada yang ditinggal dalam lahan itu sendiri.
Pada lahan tegal, biasanya siklus haranya adalah terbuka, semua hasilnya diangkut keluar areal, dan tidak ada yang ditinggal. Hal ini tidak dibenarkan. Seharusnya, masih ada sisa-sisa panen yang dibiarkan di lahan itu, agar lama-kelamaan berubah menjadi pupuk untuk menambah unsur hara tanah. Namun petani malah menggunakannya sebagai pakan ternak. Tetapi apabila kotoran ternak itu dikembalikan ke lahan, maka akan ada siklus hara yang masuk.
Untuk sistem tegal sendiri, biasanya tetap mendapat masukan (input) dari luar. Karena tanaman atau komoditas yang ditanam pada lahan ini biasanya hanya sejenis, sehingga belum dapat dikatakan sebagai sistem pertanian yang terpadu. Akan tetapi berbeda masalahnya apabila dalam tegal itu ditanam dua atau lebih jenis komoditas (tumpang sari).
- Sistem pertanian talun (tegal pekarangan)
Sistem pertanian ini berkembang di lahan-lahan kering, yang jauh dari sumber-sumber air yang cukup. Sistem ini diusahakan orang setelah mereka menetap lama di wilayah itu, walupun demikian tingkatan pengusahaannya rendah. Pengelolaan tegal pada umumnya jarang menggunakan tenaga yang intensif, jarang ada yang menggunakan tenaga hewan. Tanaman-tanaman yang diusahakan terutama tanaman tanaman yang tahan kekeringan dan pohon-pohonan.
Fungsi ekologi talun antara lain adalah memberikan perlindungan terhadap plasma nutfah, sebagai habitat satwa liar seperti jenis burung dan serangga penyerbuk, memberi perlindungan terhadap tanah dari bahaya erosi, dan sebagai penghasil seresah dan humus. Sedangkan fungsi sosial ekonominya antara lain adalah memberikan manfaat ekonomi dari hasil produksinya yang dapat dijual atau yang dapat dimanfaatkan secara langsung seperti kayu bakar, bahan bangunan, dan buah-buahan.
Pengolahan tanah: Lahan talun ini benar-benar menggunakan sistem tanam campuran. Karena petani hanya menanam dan membiarkan lahannya dan tidak ada perawatan yang intensif seperti pada tegal. Jenis-jenis tanaman yang ada di talun ini antara lain: Kacang tanah, jagung, jati, mangga, singkong, angsana, johar, tanaman obat, dll. Tanaman di lahan ini tidak terspesifik karena talun merupakan gabungan antara tegal dengan pekarangan. Di samping itu, jenis tanaman yang tumbuh di talun tidak ditentukan. Petani hanya menanam komoditasnya, sementara tanaman lain tumbuh dengan sendirinya. Dengan kata lain, pada lahan talun ini tanaman yang ada pada lahannya merupakan tanaman dengan sistem tumpang sari (multiple cropping).
Jarak tanaman yang diterapkan sama sekali tidak teratur. Mungkin ada yang diatur, namun karena perawatannya tidak terlalu intensif, sehingga pertumbuhan dan jarak tanam antara tanaman lama dengan tanaman yang baru tumbuh pun tidak teratur. Input atau masukan yang diberikan antara lain pupuk. Tanaman di talun ini juga memerlukan masukan karena sebagian hasil pertaniannya juga untuk dijual. Oleh karenanya, lahan ini juga terkadang dipupuk namun ini pun juga tidak terlalu sering, hanya jika hasil panen kurang maksimal saja. Karena macam vegetasi di sini sangat banyak, dan tidak memerlukan pengolahan tanah secara intensif, sehingga sisa-sisa tanaman yang jatuh, setelah mengalami dekomposisi akan berubah menjadi pupuk organik. Keluaran atau output yang dihasilkan adalah semua hasil pertanian meliputi jagung, mangga, dan semua yang bernilai jual.
Pada lahan talun ini, siklus haranya adalah tertutup, hasil yang dibawa keluar adalah yang bernilai jual, dan yang lain dibiarkan begitu saja dengan tujuan jika terdekomposisi dapat menjadi pupuk organik. Sehingga seharusnya petani tidak perlu memupuk. Namun jika diperlukan dapat ditambah pupuk.
Sistem pertanian talun merupakan sistem pertanian yang cukup kompleks, sehingga dapat dikatakan bahwa pengolahan dari sistem pertanian ini merupakan pertanian yang terpadu. Hal ini dikarenakan dalam prosesnya, melibatkan bermacam-macam komoditas yang berbeda, dan biasanya pengolahannya sangat minimal dan hampir dapat dikatakan perawatannya seperti perawatan lahan pekarangan. Interaksi antar komponen biotik dan abiotiknya pun sangat variatif mengingat lahan ini tergolong cukup kompleks. Sistem pertanian ini sering disebut dengan agroforestri (wanatani) yang biasanya terdapat di desa (pengelolaan hutan desa).
- Sistem pertanian pekarangan
Lahan pekarangan beserta isinya merupakan satu kesatuan kehidupan yang saling menguntungkan. Sebagian dari tanaman dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan sebagian lagi untuk manusia, sedangkan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk kandang untuk menyuburkan tanah pekarangan. Dengan demikian, hubungan antara tanah, tanaman, hewan piaraan, ikan dan manusia sebagai unit-unit di pekarangan merupakan satu kesatuan terpadu.
Lahan pekarangan sangatlah efektif dan efisien untuk bercocok tanam. Kita dapat menanam tanpa perlu adanya pupuk. Karena biasanya, kita akan membiarkan tanaman tumbuh dengan sendirinya, dan daun juga gugur dengan sendirinya. Selain hasilnya lebih efisien, ternyata lahan pekarangan juga termasuk lahan yang ramah lingkungan dan tidak mudah merusak tanah. Jika biasanya tanah akan mudah tercuci atau hilang kandungan haranya karena kesalahan pengolahan tanah, maka lain halnya dengan tanah di pekarangan.
Input atau masukan yang diberikan juga sama sekali tidak ada. Karena lahan pekarangan ini tidak digunakan untuk dijual dan hasilnya untuk dikonsumsi sendiri. Oleh karena itu, jika diberikan tambahan pupuk, berarti pemilik akan mengeluarkan biaya tambahan. Namun tanpa pupuk pun ternyata tanaman di sini juga dapat tumbuh dengan subur karena memperolah masukan dari sisa-sisa tanaman yang telah terdekomposisi menjadi unsur hara. Sedangkan keluaran yang ada adalah hasil panenan dari berbagi macam tanaman yang ada di pekarangan. Hampir semua tanaman menghasilkan produk. Kayunya untuk bangunan, sedangkan daun untuk pupuk hijau, buah untuk dimakan, dan sayuran untuk dimasak.
Teknik pengolahan tanahnya pun menggunakan TOT (Tanpa Olah Tanah), sehingga pemilik dari pekarangan tidak pernah atau jarang sekali merawat tanahnya, dan dibiarkan begitu saja agar lebih alami sehingga kandungan bahan organik maupun humusnya lebih banyak. Hal ini membuat tanah menjadi lebih subur, tanaman juga tumbuh dengan subur, dan hasilnya juga maksimal dan tuumbuh secara alami tanpa rekayasa teknologi manusia. Akan tetapi teknik ini membuat serangan hama dan penyakit meningkat. Akan tetapi, justru kondisi seperti inilah yang membuat rantai makanan akan lebih bervariasi dan lebih alami. Pada lahan pekarangan ini, siklus haranya adalah tertutup, tanaman itu rontok daunnya lalu diambil tanaman semusim, dan sisa-sisa tanaman tetap di sini tidak diambil. Jika diambil, semuanya tetep kembali dari hasil kotoran.
Sistem pertanian pekarangan telah mencerminkan pertanian terpadu, juga organik. Hal ini dikarenakan sistem pertanian ini tidak memerlukan input dari luar, dan hanya memanfaatkan sesuatu yang telah ada dari wilayah tersebut. Selain itu, ekosistem dan interaksi antar komponen di dalamnya juga sangat beraneka ragam.
- Sistem pertanian perkebunan
Sistem perkebunan, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar (estate) yang dulu milik swasta asing dan sekarang kebanyakan perusahaan negara, berkembang karena kebutuhan tanaman ekspor. Dimulai dengan bahan-bahan ekspor seperti karet, kopi, teh dan coklat yang merupakan hasil utama, sampai sekarang sistem perkebunan berkembang dengan manajemen yang industri pertanian.
Untuk perkebunan teh, biasanya menggunakan lahan miring yang berada di lereng pegunungan. Pengolahan tanah: Karena terletak di lahan miring, maka digunakan terasering untuk mencegah terjadinya erosi. Pola tanam pada lahan miring tidak boleh searah dengan kemiringan. Jadi harus melintang, agar tidak terjadi longsor. Tanaman yang baik ditanam pada lahan yang miring adalah pohon-pohon besar. Pada lahan pada kemiringan seperti itu, tanaman teh dapat eksis dari longsor, karena menutupi permukaan tanah. Dan tanaman ini mempunyai sistem perakaran yang hampir seperti pohon. Tapi tanaman ini sangat melindungi permukaan tanah dari air. Sehingga sangat efektif dalam mengendalikan air hujan. Di satu sisi, resapannya juga tinggi.
Input atau masukan yang ada adalah pupuk. Penggunaan pupuknya antara lain NPK dan urea. Akan tetapi, penambahan pupuk tidak terlalu intensif, biasanya sangat jarang dipupuk. Oleh karena itu, untuk menekan biaya pengolahan, pupuk kimia tidak terlalu sering diberikan. Dan untuk output atau keluaran adalah hanya teh saja, karena tidak diusahakan tanaman bernilai jual lain selain teh. Begitu pula dengan macam perkebunan yang lain. Biasanya, outputnya hanya komoditas perkebunan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Pertanian Padi Organik SRI dalam konsep Sistem Pertanian Terpadu. http://www.sasak.org/. Diakses pada hari Sabtu tanggal 20 Maret 2010 pukul 20.00 WIB
Anonim. 2001. Sistem Pertanian di Indonesia. http://www.lablink.or.id. Diakses pada hari Sabtu tanggal 20 Maret 2010 pukul 20.00 WIB
Reijntjes, Coen, et al.1992. Pertanian Masa Depan: Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah.Kanisius : Yogyakarta.
Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan pertanian Organik : pemasyarakatan sdan Pengembangannya. Kanisius : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar